PLUTKUMKMGIANYAR – Pertempuran Stalingrad merupakan salah satu konfrontasi paling berdarah dan penentu dalam Perang Dunia II, yang terjadi antara 17 Juli 1942 dan 2 Februari 1943. Peristiwa ini tidak hanya menjadi simbol ketabahan dan kegigihan, tetapi juga titik balik yang menentukan dalam kekalahan Nazi Jerman.
Pertempuran ini terjadi di kota Stalingrad, yang kini dikenal dengan nama Volgograd, di Rusia selatan. Kota ini memiliki nilai strategis bagi kedua belah pihak bagi Jerman, Stalingrad merupakan tujuan penting dalam operasi militer mereka yang dikenal sebagai Fall Blau (Case Blue), yang bertujuan untuk mengamankan ladang minyak Kaukasus dan memotong jalur suplai Uni Soviet. Sementara bagi Uni Soviet, pertahanan kota ini merupakan masalah kebanggaan nasional dan kunci untuk mencegah invasi lebih lanjut ke wilayah mereka.
Pada awalnya, pasukan Jerman di bawah komando Jenderal Friedrich Paulus berhasil memasuki kota Stalingrad dan meraih sejumlah kemenangan awal. Namun, taktik pertahanan Uni Soviet yang gigih dan kejam, dipimpin oleh Jenderal Vasily Chuikov, memperlambat kemajuan Jerman. Pertempuran jalanan yang tak kenal henti, serangan balik malam hari, dan pertempuran rumah-per-rumah menjadi ciri khas pertempuran ini, dimana kedua belah pihak mengalami kerugian besar.
Kondisi di garis depan sangat brutal. Para prajurit berjuang dalam cuaca musim dingin Rusia yang ekstrem, dengan suhu yang bisa turun hingga minus 40 derajat Celsius. Keadaan ini, dikombinasikan dengan kelaparan, penyakit, dan terus-menerus terjadi serangan, menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar di kedua belah pihak.
Strategi Hitler yang menolak mundur meskipun pasukannya sudah terkepung dan kehabisan suplai, menunjukkan kesalahan fatal dalam perencanaan militer Jerman. Di sisi lain, Stalin mengeluarkan perintah “Tidak satu langkah mundur”, memastikan bahwa pasukan Soviet akan bertarung hingga titik darah penghabisan untuk mempertahankan kota ini.
Pada November 1942, Uni Soviet melancarkan serangan balasan besar-besaran, Operasi Uranus, yang berhasil mengepung pasukan Axis di Stalingrad. Kekuatan Jerman dan sekutunya, yang terdiri dari Italia, Rumania, dan Hungaria, terputus dari sisanya dan tidak dapat menerima bantuan atau suplai. Upaya Luftwaffe, angkatan udara Jerman, untuk menjatuhkan suplai udara gagal memenuhi kebutuhan dasar pasukan yang terkepung.
Setelah bertahan selama beberapa bulan di dalam kantong terkepung, dengan kondisi yang semakin memburuk, pasukan Jerman akhirnya menyerah pada 2 Februari 1943. Paulus, yang telah dinaikkan pangkatnya menjadi Marsekal Lapangan oleh Hitler—sebuah gerakan simbolis, karena tidak ada marsekal Jerman yang pernah menyerah—akhirnya menyerahkan diri bersama dengan sisa pasukannya.
Kemenangan Soviet di Stalingrad menandai titik balik dalam perang di Front Timur. Pasukan Jerman, yang sebelumnya tampak tak terhentikan, mulai mundur, dan inisiatif perang berpindah ke tangan Soviet. Korban jiwa dalam pertempuran ini sangat besar diperkirakan sekitar dua juta orang tewas, termasuk tentara dan warga sipil.
Pertempuran Stalingrad juga memiliki konsekuensi jangka panjang dalam hal taktik dan strategi militer. Hal ini menyoroti pentingnya operasi gabungan antara pasukan darat, udara, dan artileri, serta pentingnya moral dan kehendak untuk bertahan. Bukan hanya sebagai pertempuran militer, Stalingrad juga menjadi simbol perlawanan dan ketahanan Uni Soviet terhadap agresor Nazi, serta menjadi pelajaran bagi komandan-komandan militer di masa depan tentang bahaya pengabaian logistik, komunikasi, dan kesejahteraan pasukan di lapangan.
Pertempuran Stalingrad tetap menjadi salah satu peristiwa paling ikonik dalam sejarah militer dunia. Kejadian ini tidak hanya mengubah arah Perang Dunia II, tetapi juga menerangi sifat perang modern, di mana kekuatan industri, sumber daya manusia, dan ketahanan nasional dapat menjadi penentu dalam pertempuran kehendak dan keberlangsungan hidup sebuah bangsa.