plutkumkmgianyar.com – Sejarah baru tercipta di Suriname setelah Jennifer Geerlings-Simons terpilih sebagai presiden perempuan pertama negara tersebut. Parlemen memberikan dukungan penuh melalui pemungutan suara mayoritas dua pertiga pada Minggu lalu, menandai awal dari babak baru bagi negara Amerika Selatan yang tengah dihantam krisis ekonomi.
Geerlings-Simons, yang juga dikenal sebagai seorang dokter dan politisi senior, akan resmi menjabat pada 16 Juli mendatang. Ia mencalonkan diri tanpa lawan setelah terbentuknya koalisi kuat di Majelis Nasional, menyusul hasil pemilu Mei yang tidak menghasilkan pemenang mutlak. Pemilihannya sekaligus menandai berakhirnya masa jabatan Presiden Chandrikapersad Santokhi, yang dikritik karena kebijakan penghematan dan dugaan korupsi.
Harapan Baru di Tengah Tekanan Lama
Dalam pernyataan resminya setelah terpilih, Geerlings-Simons menyadari beratnya beban yang ia emban. “Saya sadar bahwa tugas ini semakin berat karena saya adalah perempuan pertama yang menduduki jabatan ini,” ujarnya.
Bersama wakilnya, Gregory Rusland, Geerlings-Simons mewarisi negara dengan 646.000 jiwa penduduk yang sedang mengalami masa sulit. Ekonomi Suriname masih tertekan akibat utang besar, pemotongan subsidi, dan ketidakpuasan publik yang meluas. Meskipun pemerintahan sebelumnya berhasil menstabilkan ekonomi secara makro berkat bantuan IMF, kebijakan ketatnya justru memicu unjuk rasa besar-besaran.
Kini, dengan latar belakang sebagai ketua Partai Demokratik Nasional, Geerlings-Simons berkomitmen untuk menstabilkan keuangan negara, mengoptimalkan penerimaan pajak, dan memperkuat sektor strategis seperti pertambangan emas skala kecil. Fokusnya akan diarahkan untuk memperbaiki sistem pajak dan mempersiapkan infrastruktur keuangan menjelang dimulainya produksi minyak lepas pantai pada tahun 2028.
Tantangan Berat di Depan Mata
Para ekonom memandang masa depan Suriname dengan hati-hati. Winston Ramautarsingh, mantan ketua asosiasi ekonom nasional, memperingatkan bahwa negara ini menghadapi beban pembayaran utang sekitar $400 juta per tahun. “Suriname tidak memiliki dana sebesar itu,” katanya, menekankan bahwa penjadwalan ulang utang oleh pemerintahan sebelumnya hanya bersifat sementara.
Selain tantangan keuangan, Geerlings-Simons juga dihadapkan pada tugas menjaga stabilitas sosial. Rasa frustrasi publik yang masih tinggi perlu dikelola dengan pendekatan inklusif, sambil tetap menjaga arah pembangunan jangka panjang.
Menuju Era Baru Suriname
Suriname, negara kecil yang pernah menjadi koloni Belanda, akan merayakan 50 tahun kemerdekaannya pada November mendatang. Di tengah perayaan tersebut, rakyat Suriname menaruh harapan besar pada kepemimpinan Geerlings-Simons untuk membawa negara menuju era yang lebih sejahtera.
Sejak tahun 2019, Suriname juga menjalin kerja sama strategis dengan China lewat inisiatif Belt and Road, menjadi salah satu negara Amerika Latin pertama yang bergabung dalam proyek infrastruktur global itu. Dalam konteks ini, kepemimpinan Geerlings-Simons juga dinilai krusial dalam menjaga hubungan diplomatik dan memastikan kerja sama luar negeri tetap produktif.
Dengan latar belakang etnis yang beragam – dari keturunan Afrika, pribumi, India, Indonesia, Tionghoa, hingga Belanda – Suriname bukan hanya negara kaya budaya, tapi juga kaya akan potensi sumber daya. Harapannya, kekayaan tersebut dapat dikelola lebih adil dan bijak di bawah kepemimpinan yang baru.
Kesimpulan
Pemilihan Jennifer Geerlings-Simons sebagai presiden menandai titik balik penting dalam sejarah Suriname. Ia datang dengan visi stabilisasi ekonomi dan komitmen memberdayakan pendapatan negara dari dalam. Namun, tantangan besar telah menantinya—mulai dari pengelolaan utang, penguatan pajak, hingga menjaga kepercayaan rakyat di tengah krisis yang belum sepenuhnya pulih.
Sebagai pemimpin perempuan pertama di negara itu, Geerlings-Simons bukan hanya membawa simbol perubahan, tapi juga harapan konkret menuju masa depan yang lebih baik bagi Suriname.