plutkumkmgianyar.com – Jakarta – Dedi Mulyadi memanaskan suasana rapat paripurna DPRD Jawa Barat lewat pidatonya yang membahas sejarah raja-raja Nusantara dan masa penjajahan VOC. Ia menyampaikan kritik tajam terhadap penyalahgunaan kekuasaan, yang menurutnya masih terjadi hingga hari ini. Fraksi PDI Perjuangan menanggapi pidato itu dengan aksi walk out sebagai bentuk protes.
Dedi Soroti Pola Kekuasaan dari Zaman Raja hingga Kini
Dedi mengajak peserta rapat merenungkan bagaimana kekuasaan di masa lalu sering menindas rakyat. Ia membandingkan perilaku penguasa zaman kerajaan dan VOC dengan kondisi politik masa kini. Menurutnya rtp medusa88, penguasa modern masih memakai simbol dan kekuasaan untuk mengontrol rakyat tanpa memedulikan kepentingan publik.
“Kalau dulu rakyat tunduk karena simbol, sekarang banyak pemimpin yang kehilangan makna karena tak berpihak pada rakyat,” ujar Dedi dengan nada kritis.
Ia menekankan bahwa sejarah bisa menjadi cermin untuk menilai arah kekuasaan saat ini.
PDI Perjuangan Pilih Walk Out
Fraksi PDI-P langsung bereaksi terhadap pidato Dedi. Mereka merasa Dedi menyindir partai secara tidak langsung. Alih-alih melanjutkan sidang, seluruh anggota Fraksi PDI-P memilih meninggalkan ruangan secara kolektif.
Salah satu anggota Fraksi PDI-P menyampaikan keberatannya kepada wartawan. “Kami hadir untuk mengikuti rapat, bukan untuk menerima ceramah yang menyudutkan. Pidato itu tidak pada tempatnya,” katanya.
Media Sosial Meledak, Publik Terbelah
Aksi walk out dan isi pidato Dedi cepat menyebar di media sosial. Banyak netizen mendukung Dedi karena keberaniannya menyampaikan kritik melalui pendekatan sejarah. Di sisi lain, sebagian publik menilai gaya penyampaian Dedi terlalu provokatif untuk forum resmi.
Tagar seperti #DediMulyadi dan #PDIWalkOut menduduki trending topic, memperlihatkan tingginya atensi publik terhadap peristiwa ini.
Sejarah Jadi Senjata Retoris Baru?
Dedi tidak sekadar menyampaikan kritik, ia memakai sejarah sebagai cara menyentil penguasa masa kini. Ia ingin para pemimpin belajar dari masa lalu dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Meski memicu polemik, pidato ini membuka ruang diskusi tentang cara menyampaikan kritik politik secara elegan tapi tetap tajam.